Ilmu Campuran Seputar Blog, Pendidikan & Sastra

Rabu, 13 Juli 2016

Bangkit atau Tetap Tersungkur?

Jalanan tampak sepi. Bus melaju dengan cepat membuat pepohonan yang menjulang tinggi  di sepanjang jalan tampak seperti raksasa. Daun-daun mengering, meluruh dalam rintik hujan yang membasuh bumi. Garis biru yang berpendar di cakrawala perlahan bersembunyi di antara gumpalan awan yang sebentar lagi akan berubah menjadi kabut hitam.
 

Kutatap ibu, mata itu masih sama, menerawang jauh. Membuatku kembali menyimpan  rasa ingin tahu yang berkali-kali menyeruak ke permukaan. Pertengkaran Ayah dengan ibu yang nyaris terjadi setiap hari membuat hidupnya karam. Hancur. Bagai karang yang dihempas ombak bertubi-tubi. Rasa gelisahku kian menjadi dan aku mencoba menenangkan diri dengan mengedarkan pandagan ke sekeliling, mengamati orang-orang yang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Kulihat adik bungsuku, Andi yang baru berumur tiga tahun tengah terlelap dalam dunia mimpi. 

Pagi itu jalanan sepi. Kami akan pergi ke suatu tempat, yang entah di mana. Ke suatu tempat yang orang-orang jahat tak akan bisa menemukanku, Alvi, begitulah ibu berkata. Aku tak tahu.

**********

Kulangkahkan kaki ini dengan gusar memasuki sebuah rumah usang. Mataku mulai menyusuri sekeliling. Pagar besi yang mengarat oleh waktu, dinding putih yang warnanya mulai memudar dan buku-buku yang berserakan di lantai, semua tampak mengerikan. Rumah itu bak rumah kosong tak bertuan. Tak ada sofa, hanya selembar tikar yang lusuh. Kakiku terus melangkah meski terasa berat. Tatapan aneh yang menghujaniku membuatku bergidik ngeri.


“Ini tempat apa, bu” bisikku pelan, berusaha menyembunyikan rasa takut. Ibu hanya tersenyum, getir. Ibu tak menjawab dan semakin mempercepat langkahnya menyusuri setiap sudut dengan menggandeng tanganku. Ia pegang erat, seakan takut tanganku lepas dari genggamannya.
“Kamu tunggu disini, Alvi. Ibu akan menemui Bu Fatimah” ucap ibu sambil mengisyaratkanku agar menunggu di kursi kayu reot.
 

Pagar besi yang mengarat, dinding lusuh dan buku-buku yang berserakan serta tatapan kosong milik anak-anak seusiaku, membuatku ketakutan. Tiba-tiba kurasakan dadaku mulai sesak. Pertengkaran ayah dan ibu memenuhi rongga dadaku. Sesak. Dentuman piring pecah. Ratap tangis dan sumpah serapah yang terjadi berkali-kali di rumah seringkali membuat kami ketakutan. Aku lari, bersembunyi di kolong ranjang bersama adik bungsuku. Kututup telinganya rapat-rapat. Kupeluk ia yang nyaris ketakutan. Ibuku menangis. Suaranya melengking-lengking merobek ingatan. Merobek-robek pagi yang berkabut. Selanjutnya hari-hari kami hanya berisi rasa takut dan jerit tangis kepedihan.
Suatu hari aku berharap Ayah pergi dan hingga akhirnya ia benar-benar pergi, tak pernah kembali. Aku juga berharap itu perjumpaan terkahirku denganya. Tak ada kenangan manis yang ingin kuingat kala rasa takut mulai merayap, hanya kenangan buruklah yang tersisa.

“Kamu akan tinggal disini bersama Bu Fatimah, Alvi.” Ucapan ibu membuyarkan lamunan panjangku. Aku mengangguk saja meski sebenarnya tak setuju. Menurutku gubug tua di desa jauh lebih berarti daripada rumah usang yang tampak mengerikan ini. Tapi aku tak punya pilihan. Kondisi ekonomi keluarga yang carut marut memaksaku untuk menetap di sini.
Kucium tangan ibu berkali-kali. Kecupan hangat yang melayang di wajahku membuatku ingin terus berlama-lama dengannya. Kupandagi mata Andi yang menyiratkan kesedihan. Ia tahu kami akan berpisah. Ibu pergi. Aku terus terpaku memandangi punggungnya hingga melesat jauh.
“Aku akan merindukanmu, Bu” ucapku dalam hati.

 **********
“Dasar anak panti”
Aku menangis. Tak jarang teman-teman di sekolah menjadikan aku sebagai bulan-bulanan mereka. Mereka menjadikanku bahan ejekan. Mereka bilang aku anak yang dibuang sebab itulah aku tinggal di panti asuhan. Berbagai macam hinaan dan cercaan sering membuatku sedih. Terkadang aku merajuk menyadari betapa hinaan semacam itu sangat melukai perasaan.
Bulan berbilang bulan, tahun berganti tahun, tapi tak sekalipun Ibu mengunjungiku seperti yang pernah ia janjikan. Aku akan mengunjungimu seminggu sekali, janjinya  sebelum akhirnya ibu benar-benar pergi meninggalkanku. Aku sedih. Setiap aku memohon pada ibu Fatimah, Ia selalu menolak. Ia berjanji akan membawaku bertemu dengan ibuku, meski nyaris tak pernah ia lakukan.
 

Lalu suatu hari, bu Fatimah memberi tahu jika Ibu dan adikku meninggal dalam perjalanan pulang sehabis mengantarku menuju panti asuhan ini. Mereka meninggal dalam kecelakaan bus dan truk yang menewaskan belasan nyawa. Saat itu, dunia nyaris terasa runtuh. Aku menangis. Berteriak. Menyadari hari itu adalah perjumpaan terkahir kami. Berhari-hari aku merajuk. Bu Fatimah tidak segera mengabarkan hal itu karena waktu itu usiaku masih seumur jagung. Usiaku baru berumur tujuh tahun dan ia takut jika aku akan sangat bersedih. Itulah mengapa ia menyembunyikan kabar yang nyaris membuat nafasku terhenti. Aku sangat sedih, seolah ingin mempertanyakan keadilan tuhan. Kenapa ujianku begitu berat? Seolah kata itu ingin kutanyakan pada-Nya berkali-kali. Tidak. Allah takkan menguji hamba diluar batas kemampuannya. Kembali suara dalam hatiku berbisik. Allah Maha adil.

 **********
Ketika hidup menggempurmu jatuh, kau hanya punya dua pilihan, tetap tersungkur atau bangkit?  Ya, kata-kata Tom Krause yang kutemukan pada secarik kertas beberapa hari yang lalu membuatku untuk kembali melanjutkan hidup. Kata-kata itu bagai lecutan api, mengobarkan semangatku yang pernah padam. Aku jadi tahu betapa air mata tak akan mampu mengubah nasib. Ketegaran dan doalah yang akan mengubah segalanya. Pengalaman pahit mengajariku untuk tetap bertahan dan bangkit. Dunia tidak membutuhkan orang-orang yang banyak mengeluh. Semua orang mempunyai peluang yang sama untuk sukses. Lalu kuberanikan diri untuk bermimpi. Kutulis semua mimpiku dan  kusimpan ia rapat-rapat. Kulalui hari-hari sulit dengan ketegaran dan ketabahan, hingga akhirnya aku benar-benar bangkit dari keterpurukan. Kini aku tumbuh dewasa. Aku bekerja pada sebuah rumah sakit, bukan rumah sakit elit tapi cukup untuk memenuhi kebutuhanku. Mimpiku untuk menyelamatkan nyawa ribuan orang benar-benar terwujud. Memang, kematian adalah takdir tuhan, tapi setidaknya uluran tanganku membuat hidupku terasa lebih bermakna. Aku bahagia, sangat bahagia.


01 September 2015


Baca juga: Kepergian Suntaman





Tidak ada komentar:

Posting Komentar